Loading Now

Dari Era Mesin Ketik Ke Media Sosial : Evolusi Perjalanku Sebagai Jurnalis Sejak 1996

GARUT BERKABAR, Artikel – Menjadi jurnalis selama lebih dari dua puluh delapan tahun telah menjadi perjalanan panjang yang penuh tantangan dan perubahan. Karier yang kumulai pada tahun 1996, ketika mesin ketik masih menjadi alat andalan, telah membawaku melewati transformasi besar dalam industri media, hingga pada era dominasi media sosial dan digitalisasi seperti sekarang.

1996: Awal Perjalanan di Dunia Jurnalisme Tahun 1996, menjadi jurnalis bukanlah pekerjaan yang mudah. Teknologi yang sangat terbatas mengharuskan setiap informasi didapatkan secara langsung dari lapangan, dilaporkan dengan mesin ketik, atau komputer lambat, dengan akses internet yang sangat minim. Pekerjaan seringkali dimulai dengan melakukan wawancara secara tatap muka, menyusuri jalanan kota untuk mencari narasumber, dan mengirim laporan ke kantor redaksi melalui kurir atau faksimile. Pada masa itu, waktu dan fisik benar-benar diuji, apalagi ketika harus menghadapi medan yang sulit atau narasumber yang enggan berbicara.

1998-1999: Meliput Reformasi, Menyaksikan Sejarah Pada penghujung dekade 90-an, Indonesia dilanda pergolakan besar. Runtuhnya Orde Baru dan gerakan reformasi menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini. Sebagai jurnalis, aku berada di garis depan peristiwa tersebut, meliput demonstrasi besar-besaran mahasiswa, ketegangan politik, hingga transisi kekuasaan. Meski ada kebanggaan bisa menjadi saksi sejarah, liputan di masa itu juga dibayangi risiko besar. Ancaman kekerasan dan intimidasi sering terjadi, baik dari aparat maupun pihak lain yang merasa terganggu oleh berita yang kami laporkan.

2000-an: Transformasi Jurnalisme dengan Teknologi Memasuki awal milenium baru, teknologi mulai mengubah wajah jurnalisme. Internet semakin mudah diakses, dan email menjadi alat komunikasi utama untuk mengirim laporan berita. Proses peliputan semakin efisien, namun demikian tantangannya pun berubah. Di era ini, jurnalis dituntut untuk selalu berada di garis terdepan, dengan kecepatan informasi menjadi kunci utama. Perlombaan untuk menyajikan berita tercepat seringkali membuat jurnalis harus tetap kritis, terutama dengan mulai maraknya berita palsu atau hoaks.

2010-an: Era Media Sosial Ketika media sosial seperti Twitter dan Facebook mulai berkembang pesat di awal 2010-an, lanskap jurnalisme kembali berubah. Media sosial memberikan platform bagi siapa saja untuk menyebarkan informasi secara cepat, bahkan dalam hitungan detik. Bagi jurnalis, ini adalah peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, akses terhadap informasi dan narasumber menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, di sisi lain, jurnalis harus lebih berhati-hati dalam memverifikasi setiap informasi yang muncul di media sosial, mengingat cepatnya penyebaran berita palsu.

2024: Jurnalisme di Era Digital yang Kompleks Kini, jurnalisme telah sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi digital. Kemajuan teknologi memungkinkan distribusi berita yang lebih cepat, lebih luas, dan lebih mudah diakses oleh publik. Namun, di tengah era disinformasi dan polarisasi politik yang semakin tajam, peran jurnalis sebagai penjaga kebenaran menjadi lebih penting dari sebelumnya. Tanggung jawab ini menuntut integritas dan kehati-hatian dalam setiap laporan yang disajikan.

Perjalanan karier ini membuktikan bahwa meskipun teknologi terus berkembang dan mempengaruhi cara kami bekerja, prinsip dasar jurnalisme tetap sama:

menyampaikan kebenaran kepada masyarakat dengan jujur dan akurat. Dari mesin ketik hingga media sosial, peran jurnalis sebagai saksi sejarah tak pernah berubah. Setiap cerita yang ditulis adalah catatan penting yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

(Penulis: Pemimpin redaksi Garutberkabar.com)

Share this content: