Loading Now

Prinsipku Direndahkan Tak Mungkin Menjadi Sampah, Disanjung Pun Tak Mungkin Jadi Rembulan

Opini, GARUTBERKABAR – Masing-masing dari kita memiliki cara dan perjuangan sendiri dalam usaha untuk mencintai diri sendiri. Kita pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai definisi dari mencintai diri sendiri sebagai proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Seandainya kualitas seseorang hanya dinilai sekilas dari tampilan fisiknya, aku sudah pasti kalah. Bagaimana tidak, dengan badanku yang terkesan gemuk dan pendek ini seringkali menjadi bahan ledekan dan sejak dulu waktu masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan di dunia kerja saat ini. Apalagi dulu saat itu, keadaan atau kondisi ekonomi keluarga membuatku ikut bekerja membantu orang tua di sawah sepulang sekolah ataupun hari libur membuat kulitku gosong karena terlalu sering kena sengatan panas matahari.

Jangankan untuk gonta-ganti baju, sepatu, tas atau bahkan terkesan kumel alias lusuh, bisa membayar biaya sekolah tepat waktu pun sudah sangat disyukuri. Dengan kondisi fisik dan penampilan yang sangat sederhana tersebut, membuatku agak susah bergaul terutama saat awal masuk SMA. Sikap acuh sering mereka tunjukkan saat aku mencoba membuka pembicaraan. Bahkan tak jarang ada yang meledekku dengan bertanya, “Dari SMP mana, Dik?” sambil diiringi tawa keras teman-temannya sekelas ku.

Terkadang rasa sedih dan minder datang menyelimuti diri. Namun saat rasa itu mendera, aku hanya ingat satu hal, yaitu kerja keras kedua orangtuaku demi melihat anaknya bisa bersekolah. Keadaan itulah yang menjadi cambuk buatku untuk berusaha menjadi lebih baik dari semua yang merendahkan ku.

Terkadang waktu senggang saat menunggu libur sambil masuk sekolah, aku manfaatkan untuk membantu kedua orang tuaku di sawah maupun di kebun. Namun aku tak lupa untuk seeing membaca lebih banyak buku-buku pelajaran dan memanfaatkan komputer di rumah teman maupun di rumah guru untuk searching materi. Mirisnya waktu itu, bahkan ikut masuk kelas lain apabila ada mata pelajaran sejenis dengan harapan agar ilmu yang diperoleh bisa selangkah lebih maju daripada teman sekelas ku. Sering diskusi dengan Guru-guru, menjadi hal yang terbiasa kulakukan. Akhirnya, semua kerja kerasku berbuah manis.

Benar kata orang, hasil memang tidak pernah mengkhianati proses. Saat UTS atau UAS, tak jarang namaku terpampang dengan predikat nilai tertinggi. Saat itulah, cibiran atau pandangan sinis teman-temanku berubah menjadi simpati dan kagum. Bahkan banyak dari mereka yang dulu sering mencemooh, berubah haluan dengan mengajakku diskusi tentang materi yang kurang mereka pahami atau sekedar mengerjakan tugas bersama.

Setiap semester, aku selalu mendapatkan nilai A yang selalu menghiasi sebagian besar mata pelajaran favorit yang kuambil, hingga pada akhirnya aku bisa balas dendam kepada semua yang telah merendahkan ku dengan cara yang elegan, yakni lulus dengan predikat terbaik, dengan kategori pelajar teladan.

Namun disisi lain dunia kerja, tempat di mana kita bisa mengenal lebih banyak karakter orang dari lintas generasi. Segala macam bentuk persaingan yang begitu ketat harus siap dihadapi karena sebagian waktu kita dihabiskan di kantor. Mempunyai atasan yang sering kali mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang bisa menghargai bawahan menjadi tantangan tersendiri.

Setiap hari, selalu ada bahan yang selalu diributkan, seolah apapun yang dikerjakan selalu salah di matanya. Direndahkan dan dihina di depan karyawan yang lain menjadi hal yang biasa. Bahkan tak jarang, aku kerja sampai larut malam untuk memenuhi report yang dimintanya. Kondisi inilah yang membuatku tidak nyaman dan selalu berpikir untuk resign. Namun, aku berusaha menguatkan diri dengan berpikir, “Bukan aku yang bodoh dan tidak becus kerja, tapi mindset dia tentang cara kerja lah yang harus diluruskan.”

Beruntungnya roda itu berputar. Setelah sekitar satu tahun bertahan dengan kondisi yang ada, terdapat momen di mana aku bisa menunjukkan bahwa aku tak sebodoh seperti yang dia pikirkan. Saat perusahaan mengadakan ada kompetisi project improvement, dengan berbekal materi dan presentasi yang baik, aku bisa menang di tingkat regional sehingga berhak bertarung ke tingkat nasional, membawa nama kantor regional tempatku bekerja.

Dan benar, Tuhan memang Maha Adil, saat aku disepelekan oleh atasanku sendiri. Aku justru disanjung dan berhak naik ke podium untuk mendapatkan penghargaan karena bisa menang di tingkat nasional. Mendapat ucapan selamat dari banyak rekan kerja dan atasan yang posisinya jauh lebih tinggi memberikan sedikit obat atas luka yang selama ini ku tahan. Setidaknya aku bisa memberikan sedikit “tamparan” kepada atasanku yang selama ini justru sering menyepelekan kinerjaku.

Tak berhenti sampai di situ. Makin sering aku disepelekan dan direndahkan di depan umum oleh atasanku membuat tekadku makin keras untuk selalu bisa menunjukkan bahwa aku tak sebodoh yang dia bayangkan. Komentar pedas dari rekan-rekan kerjaku terkait fisik yang gemuk dan pendek membuatku makin semangat untuk menunjukkan bahwa aku bisa lebih baik dari mereka.

Aku berusaha mencintai apa pun kondisiku dengan berusaha mencari kebahagiaanku sendiri. Mengikuti writing competition di luar perusahaan adalah salah satunya. Dengan memenangkan beberapa writing competition, aku bisa menanamkan kepercayaan diri dan menumbuhkan mindset bahwa aku bahagia dan bersyukur dengan apapun yang Tuhan titipkan kepadaku.

Sejatinya, kita hanya punya dua tangan sehingga tidak bisa kita gunakan untuk menutup ribuan mulut di luar sana yang menggunjing maupun merendahkan kita, baik itu benar ataupun salah. Namun setidaknya, kita masih bisa menggunakan kedua tangan kita untuk menutup kedua telinga kita sendiri.

Disepelekan serendah apapun tak lantas menjadikan diri kita seperti sampah. Yakinlah bahwa di balik semua kelemahan yang kita miliki, Tuhan selalu menitipkan lebih banyak kelebihan. Fokus untuk lebih memperbaiki kehidupan, terus berusaha untuk bersinar dan mencari kebahagiaan diri dengan hal yang positif lebih penting dibandingkan memikirkan omongan di luar sana yang justru membuat kita down dan tidak berkembang.

Jadikan semua cibiran dan hinaan menjadi cambuk untuk bisa bermimpi lebih tinggi lagi. Pun sama, disanjung setinggi apa pun tak lantas merubah kita manjadi rembulan. Terbuai dengan pujian orang lain justru akan menimbulkan perasaan sombong dan tidak ada upaya untuk lebih memperbaiki diri. (Penulis DK)

Share this content: