GARUT BERKABAR – Batik, kain bergambar dengan motif khas, telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia yang dikenal di seluruh dunia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), batik dibuat dengan teknik menerakan malam pada kain yang kemudian diproses lebih lanjut.
Sejak 2 Oktober 2009, batik secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, sebuah penghargaan yang memantapkan posisinya dalam sejarah kebudayaan global.
Tanggal 2 Oktober pun diperingati setiap tahun sebagai Hari Batik Nasional di Indonesia.
Di antara ragam batik dari berbagai daerah, batik garutan memiliki keistimewaan tersendiri. Motif-motif batik garutan mencerminkan nilai-nilai lokal Garut dan telah eksis jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Menurut Galeri Baraya Seni Rupa Indonesia (GBSRI), batik garutan semakin populer dengan nama “batik tulis garutan” sejak tahun 1945, dan mencapai puncaknya pada periode 1967 hingga 1985.
Meski menghadapi tantangan globalisasi, batik garutan tetap eksis berkat kerja keras para perajin lokal, salah satunya Euis Sukaesih (67) dari Kampung Batik Paledang, Garut Kota.
Berbekal keterampilan yang diwariskan dari neneknya sejak 1974, Euis tetap semangat melestarikan warisan ini hingga kini.
Menurutnya, pembuatan batik memerlukan waktu 1-2 bulan, tergantung pada kompleksitas motif yang dikerjakan. Batiknya dipasarkan melalui keponakan, baik secara offline di toko maupun online melalui media sosial.
“Ngabatik unggal dinten (membatik setiap hari), anak-anak saya juga bisa membatik, ini warisan turun-temurun dari nenek hingga ke anak, cucu, dan cicit,” ujar Euis.
Selain Euis, Kristi Jesica (37), pemilik usaha Batik KJ Indonesia, juga berperan aktif dalam melestarikan batik garutan.
Kristi mengungkapkan bahwa sejak dibukanya Kampung Batik Paledang, penjualan batik semakin meningkat, terutama karena banyaknya pengunjung dari berbagai daerah dan luar negeri.
Ia juga memperluas varian produk seperti syal dan hiasan dinding, serta merencanakan produk ready to wear di masa depan.
Namun, Kristi mengakui tantangan regenerasi perajin batik. Generasi muda cenderung memilih pekerjaan yang lebih instan, sedangkan proses membatik membutuhkan ketekunan.
Untuk mengatasi hal ini, ia aktif memberikan edukasi kepada anak-anak dan siswa sekolah agar keterampilan membatik tetap hidup.
Kisah serupa datang dari Ria Apriani (42), pemilik brand Batik CeuRia. Ria sering mengikuti pameran nasional dan internasional untuk memperkenalkan batik garutan.
Motif dan warna-warna khas seperti biru, kuning, dan cokelat tua selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembeli. Meski menghadapi tantangan, ia berharap generasi muda mau meneruskan tradisi membatik.
Di sisi lain, pemerintah Kabupaten Garut melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Garut juga mendukung keberlanjutan batik garutan dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi kepada perajin.
Selain itu, diterbitkannya surat edaran yang mewajibkan penggunaan batik garutan setiap hari Jumat oleh pegawai pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan eksistensi batik ini.
Memperingati Hari Batik Nasional, Kepala Disperindag ESDM Garut, Ridwan Effendi, menyampaikan harapannya agar batik garutan dapat terus berkembang di tengah arus globalisasi dan mendapat tempat di hati masyarakat, khususnya generasi muda.
“Masyarakat Garut harus lebih mencintai dan bangga menggunakan batik garutan,” ujarnya.
Batik garutan, dengan segala tantangan yang dihadapi, tetap bertahan dan terus berinovasi, menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai.
Selamat Hari Batik Nasional. Bangga Berbatik! (Red)
Medsos