Menjelang Pilkada serentak 2024, isu tentang pendekatan para calon kepala daerah dalam meraih dukungan publik semakin hangat. Salah satu sorotan utama adalah tuduhan bahwa masyarakat saat ini sedang diarahkan untuk menjadi pengemis politik, bukan warga negara yang aktif dan berdaya.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa pendidikan politik yang semestinya mendorong kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat, justru tergantikan oleh budaya pemberian bantuan sesaat. Sembako, uang tunai, hingga fasilitas lainnya menjadi alat politik yang umum digunakan oleh para calon untuk menarik suara, namun tanpa komitmen nyata terhadap pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.
“Rakyat diberikan bantuan materi, tapi tidak diberikan pengetahuan atau alat untuk mengubah nasib mereka. Ini sangat mengkhawatirkan, karena politik seharusnya tentang membangun masa depan bersama, bukan sekadar pemberian sesaat demi suara,” ungkap seorang pengamat politik lokal.
Harapan besar ditempatkan pada para calon pemimpin untuk memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. Mereka harus mendorong keterlibatan aktif dan kesadaran politik masyarakat, bukan sekadar menawarkan janji-janji material yang bersifat sementara.
Pilkada 2024 di Garut dan berbagai daerah di Indonesia akan menjadi ujian krusial bagi masa depan pendidikan politik di negeri ini. Apakah masyarakat akan terus diposisikan sebagai penerima pasif atau akan diberdayakan sebagai aktor utama dalam pembangunan daerahnya? Hanya waktu yang akan menjawab.
Selain itu, berkembang pula isu bahwa para elite politik menggunakan berbagai taktik licik, bahkan intimidasi, untuk memastikan kemenangan. Tekanan semacam ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang motivasi para kandidat. Apakah mereka benar-benar ingin memimpin untuk rakyat atau hanya sekadar mengejar ambisi pribadi dengan segala cara?
Medsos